Template by:
Free Blog Templates

Khamis, 17 Jun 2010

"Paspa....Paspa...," nama itu terusku panggil tanpa berjawab.

Aku terus meninggalkan kerjaku lalu menuju ke tandas. Sebenarnya, aku menangis bukan sebab mataku gatal. Tetapi, yang sebenarnya aku sedih dan terharu sewaktu menonton drama di kaca tv tadi. Begitulah perasaan aku yang mudah terasa dan emosional. Aku terus menuju ke arah ayah. Sengaja aku beritahu ayah yang aku tak nak menyambung semula kerja yang tergendala tadi dengan alasan penat dan mengantuk.


Aku terus masuk ke kamar. Cuba untuk pejam celik mata berulang kali bagi menghilangkan rasa kantuk sebaik saja melabuhkan punggungku ke atas katil sambil melayan persoalan yang bertubi-tubi menerjah ke kotak fikiranku. Begitulah perkara yang selalu aku lakukan sebelum melelapkan mata. Sedang asyik melayan persoalan yang hanya membuntukan fikiran, aku bangun seketika lalu duduk ke sisi tingkap yang tertutup sambil memeluk tubuh. Segugus nafas ringan dileraikan dari dada, menyentak khayalan bagai terasa urat-urat keletihan yang tersulam bosan di wajahku. Hari-hari yang kulalui penuh dengan senyuman yang tak lekang di bibir...... bagai tenggelam dalam wajah senja yang semakin berat. Tapi itulah azimat yang paling berharga buatku.


Kesegaran angin malam menerobos kasar menampar wajahku lalu menyusup masuk ke celah-celah lubang dinding hingga terbuai lena mimpi dan akhirnya terlena jua. Malam itu aku bermimpi......kembalinya Paspa di sisi...... Paspa kelihatan ayu......dan yang paling berharga bagiku ialah lirik senyuman di bibir manisnya. Terlerai rasa rindu yang mencengkam hati. Namun hanya satu saja yang sukar untukku tafsir....redup matanya seolah-olah menyembunyikan sesuatu. Aku ingin bertanya....namun Paspa lenyap dari mata.


"Paspa....Paspa....," nama itu terusku panggil tak berjawab.

"Apiz.....Apiz.....," suara garau itu mula menyapa.

"Ahh...... akhirnya kau menjawab juga ya Paspa.....," bisikku sendirian.

"Piz......bangun....bangun!"

0 ulasan:

Catat Ulasan